BERIMAN DENGAN HIJAU

Mansurni Abadi 

Mahasiswa Institut Kajian Etnik, UKM 

Tulisan ini bukan hendak mengajak anda menjadi ahli parti tertentu yang simbolik dengan warna hijau tetapi mendorong kecaknaan kita pada persekitaran yang hijau sebagai tanggungjawab orang yang beriman. Tak kisahlah apa pun agama anda, yang penting kita wajib memiliki tanggungjawab moral dan spiritual untuk merawat alam sekitar ini dengan lebih bijak. 

Kata Kerismas, dalam novelnya yang bertajuk “Saudara Besar Dari Kuala Lumpur”, menuliskan kalau agama harus menjadi asas bagi kemajuan bangsa, dan bagi saya ekologi juga perlu termasuk ke dalam makna kemajuan itu sendiri.

Memahami kemajuan jangan terjebak pada pencapaian ekonomi yang bersifat sementara, kita juga patut menempatkan logik ekologi yang selalu memikirkan hari ini dan esok. Justeru, kita juga harus memisahkan retorik penggunaan terma “hijau” pada ideologi pembangunan yang dikenali sebagai kapitalisme hijau, kerana telah banyak kajian mengatakan dan contoh kedua terma ini bercanggah. Seperti contoh pembukaan penempatan baru yang memotong bukit, menebang hutan, kemudian mendirikan perumahan dengan nama yang agak ironi seperti Eco Hill, Forest City, Green Hill dan lain-lain. Kelakar dan mengarut.

Tetapi untuk mencapai pemikiran seperti ini, memerlukan dorongan spiritual dalam hal ehwal, tentu sahaja agama memainkan peranan yang sangat penting. Agamawan pada era kapitalisme lebih banyak bicara soal dosa individu, hukum-hakam. Duduk di dalam kementerian mainkan wayang dan sandiwara agama, tetapi perkara yang dituntut dalam kesajahteraan sosiologi dan seumpamanya seolah-olah bodoh, bengap. Dan segala ucapan romantisme agama hanya terletak pada orang-orang miskin, rakyat. Pada diri sendiri, pada kementerian, pada negara, pada sistem seperti tidak wujud. Jika agama tidak diletakkan dalam kementerian, maka berbondong-bondong istilah digunakan untuk menghentam kerajaan, katanya mahu bermusuh dengan agama lah, menolak agama dalam pemerintahan lah, diskriminasi, liberal. Tetapi bila sebuah negara yang mengamalkan politik sentimen agama, jadi seperti orang bodoh pula. Agamawan dan agama itu sudah menyebelahi kapitalisme, kerosakan yang berlaku, jadi segala apa yang keluar dari mulut mereka hanya basa-basi, tidak ada ilmu, malahan seronok. 

Kalau menjadi agamawan itu tidak ada ilmu sosiologi, tidak ada ilmu politik, penakut dan bodoh, apa perlu gelaran ustaz? apa perlu pandangan? apa perlu kuliah-kuliah yang melibatkan keterdesakkan orang miskin? Dan sebab itulah agama itu mundur. Kesusahan, bala bencana, kemiskinan bukan “ujian tuhan”, tetapi datang dari masalah sistem, masalah kemasyarakatan, masalah korupsi. Begitu mudah mereka katakan ini ujian dan suruh bersabar, menanti peluangnya di akhirat. Itu bukan jawapan, ini pembodohan. 

Seringkali kita dikhabarkan, kalau kita masih meyakini agama yang kita anut tak kisahlah agama apa pun, ajarannya sebagai solusi untuk memperbaiki dunia. Oleh kerana itu, Beriman jangan hanya dimaknakan pada yang spiritual ke atas sahaja tetapi spiritual kepada sesama manusia mahupun ciptaannya. 

Mengagamakan Ekologi 

Pertemuan antara agama dan ekologi kemudian membentuk eko-teologi, satu bidang kajian yang menghubungkaitkan antara ajaran agama dan ekologi.

Ekologi adalah ilmu yangmempelajari interaksi antara organisme (mahluk hidup) dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos ( habitat ) dan logos ( ilmu ). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Istilah ekologi pertama kali dikemukakan oleh Ernst Haeckel (1834 = 1914). Dalam ekologi, makhluk hidup dipelajari sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya.

Ada satu buku yang menarik tentang ini dari Anne Marie Dalton dan Hendry C. Simmons bertajuk “Ecotheology and the Practice of Hope”, kesimpulan dari buku yang berkonteks Kristian ini menerangkan tentang, kekuatan teks kitab suci yang dapat dimaknai melampaui sekadar ingin mencari sebanyak-banyaknya pengikut tetapi menjawab juga tentang permasalahan sosial termasuk ekologi didalamnya. 

Konsep daripada ekologi sendiri secara pengetahuan sebetulnya jauh dari spiritual. Menurut Anne dan Hendry konsep dari ekologi dibangun pada akhir abad ke 19 dengan pandangan Newtonian, yang memfokuskan pada orientasi dunia material. Bagi Anne dan Dalton, itulah kenapa pengkajian pada bidang ekologi secara am-nya memandang manusia hanyalah organisme biologis yang menjadi bahagian dari ekosistem biologi yang lebih besar. 

Tiga Fungsi Eko-Teologi

Selama mendalami Antropologi dan Sosiologi, beberapa kali saya diajak berkunjung ke desa-desa adat. Kunjungan saya yang hanya menemani para peneliti. Saya juga mengambil peluang membuka cakrawala tentang pertalian antara ekologi, agama, dan pengetahuan budaya tempatan yang kemudian mendorong saya menerokai bidang eko-teologi. 

Seperti pada awal tahun 2019 Saya berkunjung ke desa adat Panglipuran, di wilayah Bangli, Bali yang dinobatkan sebagai desa terbersih di dunia.  Dalam budaya bali misalnya ada ajaran tentang Tri Hita Karana tentang trisula hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dan manusia dengan manusia. 

Dan ketika saya berkunjung  ke desa adat di Thailand utara dan beberapa desa di pantai timur Malaysia, saya pun mendapati adanya kesadaran untuk mempertahankan ekosistem ekologis yang bukan saja bersumber dari budaya tapi juga kerohanian agama. 

Buat saya eko-teologi tidak hanya membuka perbahasan  akademik tetapi juga menambah khazanah strategi untuk menyelamatkan persekitaran. Eko-teologi dapat difungsikan untuk menyemai harapan membaiki ekologis, menyahkan barbarisme (perbuatan yang tidak beradab) ekologi kerana agama selalu menekankan pada pembaikan akhlak manusia, dan meenguatkan perjuangan ekologis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *